Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2025

Anak Indonesia

“Aku dan Indonesiaku” Di sebuah desa kecil, tinggal seorang anak bernama Naya. Setiap sore, ia suka duduk di tepi sawah, memandangi matahari yang perlahan tenggelam di balik gunung. Angin berhembus membawa aroma padi yang sebentar lagi panen. “Indah sekali, ya,” gumamnya. Suatu hari, gurunya memberi tugas menulis tentang Indonesia. Teman-temannya banyak menuliskan tentang gedung-gedung tinggi, kota besar, atau tokoh pahlawan. Naya bingung, apa yang harus ia tulis? Malam itu, ia melihat ayahnya pulang dari ladang dengan peluh di wajah. Ibunya sibuk menyiapkan makan malam. Lalu terdengar suara azan dari masjid kecil. Semua terasa sederhana, tapi hangat. Naya tersenyum. Ia menulis: "Indonesia bagiku adalah sawah yang hijau, senyum orang-orang desa, keberagaman yang membuat kita berbeda tapi tetap satu. Indonesia adalah rumah tempat aku belajar, mencinta, dan berharap. Ia bukan hanya tentang sejarah, tapi juga tentang hari ini—tentang aku dan kita semua yang menjaganya." ...

Anak pesantren

“Santri Kecil di Balik Pagar Pesantren” Pagi itu, langit masih diselimuti kabut tipis ketika Adnan, seorang anak kelas dua SMP, tergesa-gesa menuju masjid pesantren. Suara bel pukul empat subuh baru saja berbunyi, tanda semua santri wajib bangun untuk salat berjamaah. Adnan mengusap matanya yang masih berat. Ia baru dua bulan mondok, dan rasa rindu rumah masih sering mengganggunya. Ia ingat masakan ibunya, canda tawa adiknya, juga tempat tidurnya yang nyaman. Di pesantren, semua harus serba cepat, tidur beramai-ramai, makan sederhana, dan disiplin ketat. Namun, ada sesuatu yang perlahan membuatnya betah: kebersamaan. Seusai salat, para santri duduk melingkar membaca Al-Qur’an. Meski suaranya masih terbata, teman-temannya tak pernah mengejek, justru saling menyemangati. Suatu sore, saat kegiatan mengaji kitab kuning, Adnan ditunjuk ustaz untuk membaca. Jantungnya berdebar, tangan gemetar. “Bismillahirrahmanirrahim…” suaranya lirih. Beberapa kali ia salah. Santri lain tertawa kecil...

Dikala Rindu

"Rindu yang Tersisa" Di sebuah bangku taman sore itu, Raka duduk dengan tatapan kosong. Di tangannya masih tergenggam selembar kertas kecil yang sudah kusut. Tulisan di atasnya sederhana: “Jangan lupa bahagia, meski tanpa aku.” Raka menarik napas panjang. Surat itu ditulis oleh Arin, gadis yang selama ini ia cintai diam-diam. Mereka bersahabat sejak kecil, berbagi tawa, rahasia, bahkan mimpi. Namun, Raka tak pernah punya cukup keberanian untuk mengatakan tiga kata sederhana: “Aku mencintaimu.” Hingga suatu hari, Arin datang dengan senyum yang lebih indah dari biasanya. Senyum yang ternyata membawa perpisahan. Ia harus pindah ke kota lain, mengejar mimpinya menjadi dokter. “Aku tidak ingin kau menunggu,” ucap Arin pelan waktu itu, “karena cinta itu membebaskan, bukan mengikat.” Kini, Raka hanya bisa menatap langit jingga yang sama. Ia sadar, cinta tidak selalu tentang memiliki. Kadang, cinta adalah tentang merelakan, sembari berdoa agar orang yang kita sayangi tetap baha...

Pembuly

“Suara yang Tak Pernah Didengar” Ardi adalah anak pendiam di sekolah. Tubuhnya kurus, kacamata tebal bertengger di wajahnya, dan ia jarang berbicara kecuali jika ditanya. Karena itulah, beberapa teman sekelasnya sering menjadikannya bahan ejekan. “Eh, si kutu buku lewat!” seru salah satu anak, membuat yang lain tertawa. Ada yang sengaja menyembunyikan bukunya, ada pula yang menempelkan kertas bertuliskan cupuuu di punggungnya. Ardi hanya diam, menunduk, seolah semua itu tidak ada. Tapi di dalam hatinya, luka itu menumpuk sedikit demi sedikit. Suatu hari, saat istirahat, Ardi duduk sendirian di pojok kantin. Tiba-tiba, seorang anak baru bernama Sinta mendekat. “Kamu kenapa selalu sendirian?” tanyanya polos. Ardi terkejut, jarang sekali ada yang benar-benar bertanya. Dengan suara pelan, ia hanya menjawab, “Aku… nggak punya teman.” Sinta tersenyum. “Mulai sekarang, kamu punya.” Kata-kata sederhana itu menghangatkan hati Ardi. Untuk pertama kalinya, ia merasa didengar dan dihargai. Kehadir...

Anak Remaja

"Langkah Kecil Remaja" Di sebuah sekolah menengah, ada seorang remaja bernama Dika. Ia bukan murid yang paling pintar, juga bukan yang paling populer. Namun, ada satu hal yang selalu membuatnya berbeda: rasa ingin tahunya yang besar. Suatu hari, guru meminta setiap murid menuliskan cita-cita dan langkah kecil yang akan mereka lakukan untuk meraihnya. Teman-teman Dika menuliskan mimpi besar—menjadi dokter, pengusaha sukses, bahkan artis terkenal. Dika hanya menulis singkat: “Aku ingin menjadi orang yang berguna bagi banyak orang, dan langkah kecilku adalah belajar mendengarkan.” Teman-temannya menertawakan. “Masa remaja cuma belajar mendengarkan?” kata salah satu temannya. Dika hanya tersenyum. Ia sadar, di usia remaja, banyak hal yang tidak harus selalu terlihat besar. Terkadang, kebaikan sederhana justru bisa berarti lebih. Sejak hari itu, Dika berusaha benar-benar mendengarkan setiap orang—temannya yang sedang sedih, ibunya yang lelah, bahkan adiknya yang suka berceri...

Payung di hari hujan

Sore itu, hujan turun deras sekali. Jalanan ramai oleh orang-orang yang berlarian mencari tempat berteduh. Di antara kerumunan, ada seorang anak bernama Dira yang berdiri di tepi jalan dengan wajah bingung. Ia lupa membawa payung. Tiba-tiba, seorang anak laki-laki sebaya dengannya menghampiri. Tangannya memegang payung biru yang cukup besar. “Kamu mau bareng aku? Payungku muat untuk berdua,” katanya sambil tersenyum. Dira ragu sejenak, lalu mengangguk. Mereka berjalan bersama menembus hujan, berbagi langkah kecil di bawah payung yang sama. Entah kenapa, suasana yang dingin justru terasa hangat. “Namaku Farel,” ucap anak itu. “Dira,” jawabnya pelan. Sejak hari itu, Dira dan Farel menjadi teman dekat. Semua berawal dari sebuah payung di hari hujan, yang mempertemukan dua orang asing menjadi sahabat baru. Dan Dira belajar satu hal: kadang hujan tidak hanya membawa dingin, tapi juga menghadirkan pertemuan yang tak terlupakan.

Idolaku,sumber semangatku

Namaku Lani. Di kamarku, menempel sebuah poster besar bergambar sosok yang selalu menjadi inspirasiku: seorang penulis muda yang karyanya sering kubaca, bernama Raka Putra. Setiap kali aku lelah belajar atau merasa gagal, aku membuka kembali bukunya. Di setiap halaman, selalu ada kalimat yang membuatku bangkit. “Jangan takut jatuh, karena dari jatuh kita belajar berdiri.” Kata-kata itu menancap di hati. Aku belum pernah bertemu langsung dengannya. Tapi bagiku, Raka bukan sekadar penulis. Ia adalah teman yang selalu hadir dalam bentuk kata-kata. Suatu hari, sekolahku mengadakan lomba menulis cerpen. Aku ragu ikut, takut tulisanku jelek. Tapi ketika menatap poster di kamarku, aku teringat kata-katanya. Maka aku menulis, dengan sepenuh hati. Beberapa minggu kemudian, namaku diumumkan sebagai juara pertama. Aku hampir tak percaya. Rasanya seperti mimpi. Malam itu, aku menulis sebuah catatan kecil: “Idolaku bukan hanya pahlawan di atas panggung, tapi cahaya yang membuatku berani mela...

Anak Basket

Langkah di Lapangan Bola basket itu memantul cepat di lantai kayu, seirama dengan detak jantung Ardi. Keringat mengalir deras di pelipisnya, tapi matanya tak lepas dari ring. Hari ini pertandingan final antar sekolah, dan Ardi jadi tumpuan timnya. Sejak SMP, Ardi jatuh cinta pada basket. Ia rela bangun pagi hanya untuk latihan shooting di lapangan dekat rumah. Teman-temannya sering mengejek, “Untuk apa capek-capek, toh kita bukan atlet nasional.” Tapi Ardi tak peduli. Baginya, basket bukan sekadar permainan, melainkan mimpi yang ingin ia wujudkan. Suara peluit berbunyi. Skor imbang. Waktu tersisa hanya 10 detik. Bola berada di tangan Ardi. Seluruh penonton menahan napas. “Ardi, tembak!” teriak Riko, kapten timnya. Dengan langkah pasti, Ardi menggiring bola, melewati dua pemain lawan. Jantungnya berdegup kencang saat ia melompat, melepaskan tembakan tiga angka. Bola melayang tinggi, seolah waktu melambat. “Braak!” Bola masuk sempurna. Tepat ketika bel berbunyi, penonton meledak ...

Novel yang Tak pernah selesai

Di sebuah kamar kecil berisi rak kayu reyot, Raka menatap lembaran-lembaran kertas yang berhamburan di meja. Setiap malam, ia menulis. Bukan tugas sekolah, bukan laporan pekerjaan, melainkan sebuah novel yang sudah ia mulai sejak dua tahun lalu. Judulnya: Hujan di Ujung Senja. Namun, meski sudah ratusan halaman, novel itu tak pernah selesai. Setiap kali hampir mencapai akhir, Raka selalu merasa ada yang kurang. Ia hapus, ia ubah, lalu kembali menulis ulang. “Kenapa sulit sekali mengakhiri cerita?” gumamnya. Suatu hari, ia bertemu seorang gadis di perpustakaan bernama Nisa. Gadis itu gemar membaca, dan tanpa sengaja menemukan draft novel Raka yang tertinggal di meja. “Ceritamu… indah sekali,” ujar Nisa, tersenyum. “Tapi kenapa tidak ada endingnya?” Raka tertunduk. “Aku takut salah menutup kisah. Bagiku, cerita yang buruk bisa merusak semua halaman indah sebelumnya.” Nisa menatapnya dalam. “Tapi hidup ini sendiri tak pernah benar-benar selesai, Raka. Kita hanya berjalan dari satu bab ke ...

SEORANG ANAK BELAJAR BELADIRI SILAT

Malam itu, angin berhembus pelan di balai desa. Lampu petromaks menyinari halaman yang dipenuhi anak-anak berseragam putih dengan ikat kepala hitam. Di antara mereka, ada seorang anak bernama Arga, murid baru yang baru saja bergabung dengan perguruan silat. Arga bukan anak yang percaya diri. Ia sering diejek di sekolah karena tubuhnya kecil dan pendiam. Namun, dalam hatinya ada tekad kuat: ia ingin belajar silat, bukan untuk gagah-gagahan, tapi untuk melindungi dirinya dan orang-orang yang ia sayangi. “Silat bukan sekadar jurus. Silat adalah jiwa. Gunakan untuk membela yang lemah, bukan untuk menyombongkan diri,” ujar Guru Besar malam itu. Arga mendengarkan dengan penuh semangat. Setiap latihan, ia berusaha keras, meski sering jatuh saat melakukan kuda-kuda. Tangannya lecet, kakinya memar, tapi semangatnya tidak pernah padam. Teman-teman seperguruan mulai menghargainya karena ketekunannya. Suatu sore, saat pulang sekolah, Arga melihat seorang adik kelas diganggu oleh anak-anak nakal. H...

SAHABAT DI BANGKU BELAKANG

Sahabat di Bangku Belakang Pagi itu, suara bel sekolah berbunyi nyaring. Anak-anak berlarian masuk ke kelas, termasuk Raka yang baru duduk di bangku kelas 7 SMP. Ia masih canggung dengan lingkungan barunya. Semua terasa asing: teman-teman baru, guru-guru baru, bahkan suasana kelas pun berbeda dari SD. Raka memilih duduk di bangku paling belakang, berharap tak terlalu diperhatikan. Namun, dari sampingnya terdengar suara riang seorang anak. “Halo, namaku Dimas. Kamu mau duduk bareng aku, kan?” tanyanya dengan senyum lebar. Awalnya Raka hanya mengangguk pelan, tapi perlahan ia mulai merasa nyaman. Dimas anak yang ceria, selalu punya cerita lucu, dan tidak ragu membantu teman-temannya. Setiap kali ada tugas kelompok, Dimas mengajak Raka untuk ikut serta, sehingga Raka tidak lagi merasa sendirian. Hari-hari pun berjalan. Persahabatan mereka makin erat. Saat Raka mendapat nilai jelek di matematika, Dimas dengan sabar mengajarinya di perpustakaan sepulang sekolah. Sebaliknya, ketika Di...

SAHABAT DI UJUNG SENJA

Mentari sore mulai meredup, langit jingga memantul di permukaan sawah yang baru saja dipanen. Raka duduk di tepi pematang, menunggu seseorang yang tak kunjung datang. “Seperti biasa, kamu selalu terlambat,” gumamnya sambil menatap jam tangan lusuh. Tak lama kemudian, seorang anak berlari tergesa dengan senyum lebar. “Maaf, Ra! Aku harus bantu ibu dulu,” kata Dini sambil terengah. Raka tertawa kecil. “Aku sudah tebak. Kamu memang tak pernah bisa datang tepat waktu.” Mereka duduk berdua, menatap matahari yang perlahan tenggelam. Senja selalu jadi saksi cerita mereka—tentang cita-cita, kegagalan, dan harapan. “Ra, kalau suatu hari kita berpisah, kamu jangan lupakan aku ya,” kata Dini pelan. Raka menoleh, menatap sahabatnya itu dengan sungguh-sungguh. “Mana mungkin aku bisa lupa? Kamu bagian dari setiap langkahku.” Senja hari itu terasa lebih indah dari biasanya, seakan memberi janji bahwa persahabatan sejati tak akan pernah pudar, meski waktu terus berjalannya..

Blue Lock Season 2

Gambar
Sorak-sorai penonton menggema di stadion megah. Lampu sorot menyoroti lapangan hijau tempat para pemain Blue Lock kini menghadapi tantangan baru: Neo Egoist League. Yoichi Isagi berdiri di tengah lapangan, jantungnya berdebar. Lawan kali ini jauh lebih kuat, para pemain profesional dari berbagai negara. Namun, bukan itu yang membuatnya gentar—melainkan kenyataan bahwa setiap pertandingan bisa menentukan masa depannya sebagai striker dunia. Bachira Meguru tersenyum lebar, matanya bersinar penuh gairah. “Isagi! Aku tak sabar melihatmu meledak di lapangan!” katanya sambil menggiring bola dengan gaya uniknya. Di sisi lain, Rin Itoshi tampak tenang. Tatapannya dingin, penuh fokus. “Jika kau ingin mengalahkanku, Isagi, tunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar insting.” Pertandingan pun dimulai. Bola melesat cepat, tubuh para pemain bergerak bagaikan kilat. Isagi berlari, matanya membaca pergerakan lawan. Ia menemukan celah kecil di pertahanan, lalu berteriak, “Sekarang!” Bachira mengoper de...

Blue Lock Season 1

Gambar
Malam itu, lapangan indoor Blue Lock dipenuhi suara bola yang ditendang keras. Yoichi Isagi berdiri di tengah, napasnya terengah. Matanya menatap bola yang bergulir ke arahnya. “Jika aku gagal lagi… mungkin aku akan tersingkir,” pikirnya. Sejak masuk ke proyek Blue Lock, Isagi terus diuji. Ia bukan pemain terkuat, bukan pula yang paling cepat. Namun ada sesuatu dalam dirinya—insting yang tajam, kemampuan membaca permainan—yang membuatnya berbeda. Di sisi lain, ada Barou yang penuh percaya diri. Dengan arogan ia menendang bola ke gawang. “Inilah lapangan raja! Semua akan tunduk padaku!” serunya. Isagi merasa tertekan, tapi saat bola datang, ia ingat kata-kata Ego Jinpachi: “Striker sejati adalah yang paling egois. Jangan takut, rebut kesempatanmu.” Isagi menggertakkan gigi. Ia berlari, mendahului Barou, lalu menendang bola dengan seluruh kekuatan. Bola melesat, menghantam jaring gawang. Semua terdiam. Barou terkejut. “Kau… merebut bolaku?” Isagi menatapnya dengan mantap. “Sepak bola buk...