Anak pesantren



“Santri Kecil di Balik Pagar Pesantren”

Pagi itu, langit masih diselimuti kabut tipis ketika Adnan, seorang anak kelas dua SMP, tergesa-gesa menuju masjid pesantren. Suara bel pukul empat subuh baru saja berbunyi, tanda semua santri wajib bangun untuk salat berjamaah.

Adnan mengusap matanya yang masih berat. Ia baru dua bulan mondok, dan rasa rindu rumah masih sering mengganggunya. Ia ingat masakan ibunya, canda tawa adiknya, juga tempat tidurnya yang nyaman. Di pesantren, semua harus serba cepat, tidur beramai-ramai, makan sederhana, dan disiplin ketat.

Namun, ada sesuatu yang perlahan membuatnya betah: kebersamaan. Seusai salat, para santri duduk melingkar membaca Al-Qur’an. Meski suaranya masih terbata, teman-temannya tak pernah mengejek, justru saling menyemangati.

Suatu sore, saat kegiatan mengaji kitab kuning, Adnan ditunjuk ustaz untuk membaca. Jantungnya berdebar, tangan gemetar. “Bismillahirrahmanirrahim…” suaranya lirih. Beberapa kali ia salah. Santri lain tertawa kecil. Wajah Adnan memerah, hampir meneteskan air mata.

Tapi tiba-tiba, ustaz menepuk pundaknya lembut. “Jangan takut salah, Nak. Justru dari salah itulah kita belajar.” Ucapannya membuat Adnan kembali berani. Ia terus membaca hingga selesai, meski terbata-bata.

Malam harinya, teman-temannya mendekati Adnan. “Kamu hebat, berani maju,” kata Hasan, sahabat barunya. Sejak saat itu, Adnan merasa pesantren bukan lagi tempat yang menakutkan. Di balik pagar yang tinggi, ia menemukan arti perjuangan, doa, dan persaudaraan.

Dalam hatinya ia berkata, “Mungkin aku jauh dari rumah, tapi di sini aku sedang membangun rumah baru—rumah ilmu dan iman..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu yang tertinggal di ufuk Barat (senja)