SAHABAT DI UJUNG SENJA


Mentari sore mulai meredup, langit jingga memantul di permukaan sawah yang baru saja dipanen. Raka duduk di tepi pematang, menunggu seseorang yang tak kunjung datang.


“Seperti biasa, kamu selalu terlambat,” gumamnya sambil menatap jam tangan lusuh.


Tak lama kemudian, seorang anak berlari tergesa dengan senyum lebar. “Maaf, Ra! Aku harus bantu ibu dulu,” kata Dini sambil terengah.


Raka tertawa kecil. “Aku sudah tebak. Kamu memang tak pernah bisa datang tepat waktu.”


Mereka duduk berdua, menatap matahari yang perlahan tenggelam. Senja selalu jadi saksi cerita mereka—tentang cita-cita, kegagalan, dan harapan.


“Ra, kalau suatu hari kita berpisah, kamu jangan lupakan aku ya,” kata Dini pelan.


Raka menoleh, menatap sahabatnya itu dengan sungguh-sungguh. “Mana mungkin aku bisa lupa? Kamu bagian dari setiap langkahku.”


Senja hari itu terasa lebih indah dari biasanya, seakan memberi janji bahwa persahabatan sejati tak akan pernah pudar, meski waktu terus berjalannya..


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rindu yang tertinggal di ufuk Barat (senja)