SAHABAT DI BANGKU BELAKANG
Sahabat di Bangku Belakang
Pagi itu, suara bel sekolah berbunyi nyaring. Anak-anak berlarian masuk ke kelas, termasuk Raka yang baru duduk di bangku kelas 7 SMP. Ia masih canggung dengan lingkungan barunya. Semua terasa asing: teman-teman baru, guru-guru baru, bahkan suasana kelas pun berbeda dari SD.
Raka memilih duduk di bangku paling belakang, berharap tak terlalu diperhatikan. Namun, dari sampingnya terdengar suara riang seorang anak.
“Halo, namaku Dimas. Kamu mau duduk bareng aku, kan?” tanyanya dengan senyum lebar.
Awalnya Raka hanya mengangguk pelan, tapi perlahan ia mulai merasa nyaman. Dimas anak yang ceria, selalu punya cerita lucu, dan tidak ragu membantu teman-temannya. Setiap kali ada tugas kelompok, Dimas mengajak Raka untuk ikut serta, sehingga Raka tidak lagi merasa sendirian.
Hari-hari pun berjalan. Persahabatan mereka makin erat. Saat Raka mendapat nilai jelek di matematika, Dimas dengan sabar mengajarinya di perpustakaan sepulang sekolah. Sebaliknya, ketika Dimas kesulitan menulis karangan bahasa Indonesia, Raka membantunya menyusun kata-kata.
Namun, suatu hari, Raka melihat Dimas duduk sendirian di kelas. Wajah cerianya hilang.
“Ada apa, Dim?” tanya Raka pelan.
Dimas menghela napas. “Aku takut nilai raporku jelek. Aku enggak mau bikin orang tua kecewa.”
Raka terdiam, lalu tersenyum. “Tenang, kita belajar bareng. Kamu kan selalu bantu aku, sekarang gantian aku yang bantu kamu.”
Sejak itu, mereka sering belajar bersama. Perlahan-lahan, nilai keduanya meningkat. Mereka menyadari satu hal: sekolah bukan hanya tempat mencari ilmu, tapi juga tempat menemukan sahabat yang selalu ada di saat senang maupun susah.
Bel akhir pelajaran berbunyi lagi. Dari bangku belakang, terdengar tawa Raka dan Dimas. Dua sahabat yang bertemu tanpa rencana, namun saling menguatkan untuk melangkah maju.
Mau saya buatkan versi lebih singkat untuk bacaan cepat, atau versi lebih panjang dan detail biar ceritanya lebih hidup?
Komentar
Posting Komentar