Postingan

Hasil pengamatan Perpustakaan SMPN 160 JAKARTA

Gambar
    🧾 Teks Prosedur: Cara Mengambil Foto di Perpustakaan SMPN 160 Jakarta Tujuan: Untuk mendapatkan hasil foto yang baik dan rapi di perpustakaan SMPN 160 Jakarta. Alat dan Bahan: 1. Kamera atau ponsel dengan kamera. 2. Tripod (jika diperlukan). 3. Pencahayaan yang cukup. 4. Izin dari petugas perpustakaan. Langkah-langkah: 1. Meminta izin Mintalah izin kepada petugas atau guru untuk melakukan pengambilan foto di perpustakaan. 2. Menyiapkan alat Pastikan kamera atau ponsel memiliki baterai penuh dan lensa dalam keadaan bersih. 3. Menentukan sudut pengambilan Pilih posisi yang memperlihatkan suasana perpustakaan dengan jelas, seperti rak buku, meja baca, dan alat musik yang dipajang di atas rak. 4. Mengatur pencahayaan Gunakan cahaya alami dari jendela atau nyalakan lampu ruangan agar foto terlihat terang. 5. Mengambil foto Ambil beberapa foto dari berbagai sudut agar hasil lebih menarik dan menyeluruh. 6. Memeriksa hasil foto Lihat hasil foto dan pilih yang paling baik serta p...

Anak Indonesia

“Aku dan Indonesiaku” Di sebuah desa kecil, tinggal seorang anak bernama Naya. Setiap sore, ia suka duduk di tepi sawah, memandangi matahari yang perlahan tenggelam di balik gunung. Angin berhembus membawa aroma padi yang sebentar lagi panen. “Indah sekali, ya,” gumamnya. Suatu hari, gurunya memberi tugas menulis tentang Indonesia. Teman-temannya banyak menuliskan tentang gedung-gedung tinggi, kota besar, atau tokoh pahlawan. Naya bingung, apa yang harus ia tulis? Malam itu, ia melihat ayahnya pulang dari ladang dengan peluh di wajah. Ibunya sibuk menyiapkan makan malam. Lalu terdengar suara azan dari masjid kecil. Semua terasa sederhana, tapi hangat. Naya tersenyum. Ia menulis: "Indonesia bagiku adalah sawah yang hijau, senyum orang-orang desa, keberagaman yang membuat kita berbeda tapi tetap satu. Indonesia adalah rumah tempat aku belajar, mencinta, dan berharap. Ia bukan hanya tentang sejarah, tapi juga tentang hari ini—tentang aku dan kita semua yang menjaganya." ...

Anak pesantren

“Santri Kecil di Balik Pagar Pesantren” Pagi itu, langit masih diselimuti kabut tipis ketika Adnan, seorang anak kelas dua SMP, tergesa-gesa menuju masjid pesantren. Suara bel pukul empat subuh baru saja berbunyi, tanda semua santri wajib bangun untuk salat berjamaah. Adnan mengusap matanya yang masih berat. Ia baru dua bulan mondok, dan rasa rindu rumah masih sering mengganggunya. Ia ingat masakan ibunya, canda tawa adiknya, juga tempat tidurnya yang nyaman. Di pesantren, semua harus serba cepat, tidur beramai-ramai, makan sederhana, dan disiplin ketat. Namun, ada sesuatu yang perlahan membuatnya betah: kebersamaan. Seusai salat, para santri duduk melingkar membaca Al-Qur’an. Meski suaranya masih terbata, teman-temannya tak pernah mengejek, justru saling menyemangati. Suatu sore, saat kegiatan mengaji kitab kuning, Adnan ditunjuk ustaz untuk membaca. Jantungnya berdebar, tangan gemetar. “Bismillahirrahmanirrahim…” suaranya lirih. Beberapa kali ia salah. Santri lain tertawa kecil...

Dikala Rindu

"Rindu yang Tersisa" Di sebuah bangku taman sore itu, Raka duduk dengan tatapan kosong. Di tangannya masih tergenggam selembar kertas kecil yang sudah kusut. Tulisan di atasnya sederhana: “Jangan lupa bahagia, meski tanpa aku.” Raka menarik napas panjang. Surat itu ditulis oleh Arin, gadis yang selama ini ia cintai diam-diam. Mereka bersahabat sejak kecil, berbagi tawa, rahasia, bahkan mimpi. Namun, Raka tak pernah punya cukup keberanian untuk mengatakan tiga kata sederhana: “Aku mencintaimu.” Hingga suatu hari, Arin datang dengan senyum yang lebih indah dari biasanya. Senyum yang ternyata membawa perpisahan. Ia harus pindah ke kota lain, mengejar mimpinya menjadi dokter. “Aku tidak ingin kau menunggu,” ucap Arin pelan waktu itu, “karena cinta itu membebaskan, bukan mengikat.” Kini, Raka hanya bisa menatap langit jingga yang sama. Ia sadar, cinta tidak selalu tentang memiliki. Kadang, cinta adalah tentang merelakan, sembari berdoa agar orang yang kita sayangi tetap baha...

Pembuly

“Suara yang Tak Pernah Didengar” Ardi adalah anak pendiam di sekolah. Tubuhnya kurus, kacamata tebal bertengger di wajahnya, dan ia jarang berbicara kecuali jika ditanya. Karena itulah, beberapa teman sekelasnya sering menjadikannya bahan ejekan. “Eh, si kutu buku lewat!” seru salah satu anak, membuat yang lain tertawa. Ada yang sengaja menyembunyikan bukunya, ada pula yang menempelkan kertas bertuliskan cupuuu di punggungnya. Ardi hanya diam, menunduk, seolah semua itu tidak ada. Tapi di dalam hatinya, luka itu menumpuk sedikit demi sedikit. Suatu hari, saat istirahat, Ardi duduk sendirian di pojok kantin. Tiba-tiba, seorang anak baru bernama Sinta mendekat. “Kamu kenapa selalu sendirian?” tanyanya polos. Ardi terkejut, jarang sekali ada yang benar-benar bertanya. Dengan suara pelan, ia hanya menjawab, “Aku… nggak punya teman.” Sinta tersenyum. “Mulai sekarang, kamu punya.” Kata-kata sederhana itu menghangatkan hati Ardi. Untuk pertama kalinya, ia merasa didengar dan dihargai. Kehadir...

Anak Remaja

"Langkah Kecil Remaja" Di sebuah sekolah menengah, ada seorang remaja bernama Dika. Ia bukan murid yang paling pintar, juga bukan yang paling populer. Namun, ada satu hal yang selalu membuatnya berbeda: rasa ingin tahunya yang besar. Suatu hari, guru meminta setiap murid menuliskan cita-cita dan langkah kecil yang akan mereka lakukan untuk meraihnya. Teman-teman Dika menuliskan mimpi besar—menjadi dokter, pengusaha sukses, bahkan artis terkenal. Dika hanya menulis singkat: “Aku ingin menjadi orang yang berguna bagi banyak orang, dan langkah kecilku adalah belajar mendengarkan.” Teman-temannya menertawakan. “Masa remaja cuma belajar mendengarkan?” kata salah satu temannya. Dika hanya tersenyum. Ia sadar, di usia remaja, banyak hal yang tidak harus selalu terlihat besar. Terkadang, kebaikan sederhana justru bisa berarti lebih. Sejak hari itu, Dika berusaha benar-benar mendengarkan setiap orang—temannya yang sedang sedih, ibunya yang lelah, bahkan adiknya yang suka berceri...

Payung di hari hujan

Sore itu, hujan turun deras sekali. Jalanan ramai oleh orang-orang yang berlarian mencari tempat berteduh. Di antara kerumunan, ada seorang anak bernama Dira yang berdiri di tepi jalan dengan wajah bingung. Ia lupa membawa payung. Tiba-tiba, seorang anak laki-laki sebaya dengannya menghampiri. Tangannya memegang payung biru yang cukup besar. “Kamu mau bareng aku? Payungku muat untuk berdua,” katanya sambil tersenyum. Dira ragu sejenak, lalu mengangguk. Mereka berjalan bersama menembus hujan, berbagi langkah kecil di bawah payung yang sama. Entah kenapa, suasana yang dingin justru terasa hangat. “Namaku Farel,” ucap anak itu. “Dira,” jawabnya pelan. Sejak hari itu, Dira dan Farel menjadi teman dekat. Semua berawal dari sebuah payung di hari hujan, yang mempertemukan dua orang asing menjadi sahabat baru. Dan Dira belajar satu hal: kadang hujan tidak hanya membawa dingin, tapi juga menghadirkan pertemuan yang tak terlupakan.