Mentari tenggelam di batas cakrawala, Langit jingga memeluk warna merah, Senja datang membawa cerita, Tentang perpisahan yang indah dan pasrah. Burung pulang ke sarang dengan damai, Bayang-bayang panjang mengiring langkah, Hening hadir memenuhi bumi yang ramai, Seolah waktu berhenti dengan megah. Senja mengajarkan arti kepergian, Bahwa semua yang indah pasti berlalu, Namun ia meninggalkan kehangatan, Dan rindu yang tak akan pernah layu.
Malam itu, lapangan indoor Blue Lock dipenuhi suara bola yang ditendang keras. Yoichi Isagi berdiri di tengah, napasnya terengah. Matanya menatap bola yang bergulir ke arahnya. “Jika aku gagal lagi… mungkin aku akan tersingkir,” pikirnya. Sejak masuk ke proyek Blue Lock, Isagi terus diuji. Ia bukan pemain terkuat, bukan pula yang paling cepat. Namun ada sesuatu dalam dirinya—insting yang tajam, kemampuan membaca permainan—yang membuatnya berbeda. Di sisi lain, ada Barou yang penuh percaya diri. Dengan arogan ia menendang bola ke gawang. “Inilah lapangan raja! Semua akan tunduk padaku!” serunya. Isagi merasa tertekan, tapi saat bola datang, ia ingat kata-kata Ego Jinpachi: “Striker sejati adalah yang paling egois. Jangan takut, rebut kesempatanmu.” Isagi menggertakkan gigi. Ia berlari, mendahului Barou, lalu menendang bola dengan seluruh kekuatan. Bola melesat, menghantam jaring gawang. Semua terdiam. Barou terkejut. “Kau… merebut bolaku?” Isagi menatapnya dengan mantap. “Sepak bola buk...
“Aku dan Indonesiaku” Di sebuah desa kecil, tinggal seorang anak bernama Naya. Setiap sore, ia suka duduk di tepi sawah, memandangi matahari yang perlahan tenggelam di balik gunung. Angin berhembus membawa aroma padi yang sebentar lagi panen. “Indah sekali, ya,” gumamnya. Suatu hari, gurunya memberi tugas menulis tentang Indonesia. Teman-temannya banyak menuliskan tentang gedung-gedung tinggi, kota besar, atau tokoh pahlawan. Naya bingung, apa yang harus ia tulis? Malam itu, ia melihat ayahnya pulang dari ladang dengan peluh di wajah. Ibunya sibuk menyiapkan makan malam. Lalu terdengar suara azan dari masjid kecil. Semua terasa sederhana, tapi hangat. Naya tersenyum. Ia menulis: "Indonesia bagiku adalah sawah yang hijau, senyum orang-orang desa, keberagaman yang membuat kita berbeda tapi tetap satu. Indonesia adalah rumah tempat aku belajar, mencinta, dan berharap. Ia bukan hanya tentang sejarah, tapi juga tentang hari ini—tentang aku dan kita semua yang menjaganya." ...
Komentar
Posting Komentar